Cerita Kabar – Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mengingatkan setiap Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) agar tidak menutupi informasi terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Hal ini disampaikan oleh Inspektur Jenderal Kemendiktisaintek, Chatarina Muliana Girsang, pada sebuah workshop peningkatan kapasitas Satgas PPK di perguruan tinggi se-Sumatera Barat yang berlangsung di Padang pada Rabu (13/11). Menurut Chatarina, setelah proses penanganan suatu kasus selesai, penting bagi Satgas untuk mempublikasikan hasil penanganan tersebut, apakah laporan kasus terbukti atau tidak.
“Sebaiknya setelah penanganan kasus, segera ada publikasi tentang hasilnya. Apakah laporan tersebut terbukti atau tidak,” ungkap Chatarina. Pernyataan ini mengingatkan seluruh Satgas PPKPT di perguruan tinggi untuk bertindak transparan dalam menangani kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan dosen, mahasiswa, atau pihak kampus lainnya.
Chatarina lebih lanjut menekankan bahwa setiap Satgas PPKPT harus menjelaskan apakah pihak terlapor dalam kasus kekerasan seksual telah dijatuhi sanksi atau tidak setelah proses penyelidikan. Transparansi ini, menurutnya, sangat penting untuk memberikan kejelasan kepada publik dan untuk memastikan bahwa perguruan tinggi mengambil tindakan yang tepat terhadap pelaku kekerasan seksual.
Namun, ia juga menyadari bahwa ada beberapa informasi yang memang tidak dapat disampaikan secara terbuka kepada publik, terutama jika kasus tersebut masih dalam proses penanganan. Dalam hal ini, pihak Satgas PPKPT bisa saja memilih untuk tidak mengungkapkan rincian lebih lanjut, terutama atas permintaan korban yang menginginkan privasi atau merasa takut dengan ancaman.
“Tentu saja, jika kasus tersebut masih dalam mekanisme penanganan, Satgas tidak dapat terbuka sepenuhnya, terutama jika hal itu dilakukan atas permintaan korban,” lanjut Chatarina. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara menjaga transparansi dan menghormati privasi serta keamanan korban.
Kendati demikian, Chatarina menyoroti adanya tantangan dalam menciptakan kampus yang bebas dari kekerasan seksual. Tantangan internal yang dihadapi kampus, menurutnya, seringkali berkaitan dengan komitmen dari pimpinan perguruan tinggi untuk serius dalam menangani masalah kekerasan seksual. Para pimpinan perguruan tinggi, katanya, harus memahami bahwa kampus yang bebas dari kekerasan seksual bukan hanya penting bagi kesejahteraan individu, tetapi juga bagi reputasi dan keberlanjutan institusi pendidikan itu sendiri.
“Para pimpinan perguruan tinggi harus memahami bahwa kekerasan seksual sering kali disamarkan dalam bentuk candaan, dan itu bisa menimbulkan dampak buruk yang tidak terduga,” ujar Chatarina. Ia menambahkan bahwa pimpinan kampus perlu memahami bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering disembunyikan di balik praktik-praktik yang tidak sehat dalam kehidupan kampus, seperti senioritas, hubungan kekuasaan antara dosen dan mahasiswa, hingga pola pikir yang menganggap kekerasan sebagai bagian dari pendidikan atau pelatihan.
Selain tantangan internal, Chatarina juga mengidentifikasi tantangan eksternal yang lebih luas, yakni budaya patriarki yang masih dominan dalam masyarakat. Budaya ini, katanya, seringkali mempengaruhi cara pandang terhadap masalah kekerasan seksual dan membuat korban kesulitan untuk mendapatkan dukungan dan keadilan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya upaya bersama antara pihak kampus, pemerintah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Pada kesempatan yang sama, Chatarina juga menandatangani pakta integritas dan melantik Satgas PPK Universitas Andalas, yang merupakan salah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat yang telah mengambil langkah konkret untuk menangani masalah kekerasan seksual di kampus. Hal ini diharapkan menjadi contoh bagi perguruan tinggi lainnya untuk lebih proaktif dalam menciptakan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.