Cerita Kabar – Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan klarifikasi terkait kasus yang melibatkan jaksa Jovi Andrea Bachtiar dari Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan (Kajari Tapsel), yang sebelumnya mengklaim dirinya menjadi korban kriminalisasi setelah mengkritik rekannya yang diduga menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi. Kejagung menegaskan bahwa tidak ada upaya kriminalisasi terhadap Jovi, melainkan tindakannya sendiri yang membawa masalah hukum.
Jovi Andrea Bachtiar menjadi sorotan publik setelah ia dituntut penjara selama dua tahun akibat unggahannya di media sosial yang menuduh rekan kerjanya, Nella Marsella, menggunakan mobil dinas untuk tujuan asusila. Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Harli Siregar menjelaskan bahwa klaim Jovi mengenai kriminalisasi adalah sebuah upaya untuk membelokkan isu yang sebenarnya. Harli menegaskan bahwa Jovi menghadapi dua masalah hukum, yakni perkara pidana terkait dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan pelanggaran disiplin sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Menurut Harli, Jovi adalah terdakwa dalam kasus penyebaran informasi yang melanggar kesusilaan melalui media sosial. Ia membeberkan bahwa Jovi mengunggah narasi yang menyerang kehormatan Nella Marsella dengan tuduhan tidak berdasar, yaitu bahwa Nella menggunakan kendaraan dinas untuk berhubungan intim dengan pacarnya. Tuduhan tersebut tidak hanya tidak terbukti, tetapi juga merupakan sebuah rekayasa yang merusak nama baik Nella Marsella. Harli juga menambahkan bahwa Jovi tidak pernah meminta maaf kepada Nella Marsella atas tuduhan tersebut, meskipun pihak korban merasa malu dan dilecehkan, sehingga akhirnya melaporkan kasus ini ke Polres Tapanuli Selatan.
Seiring dengan proses hukum pidana yang berlangsung, Kejagung juga mengungkapkan bahwa Jovi telah diberhentikan sementara dari statusnya sebagai PNS. Keputusan ini diambil berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, mengingat Jovi telah menjadi tersangka dalam kasus pidana tersebut. Selain itu, Jovi juga menghadapi sanksi disiplin berat karena tidak masuk kerja selama 29 hari tanpa alasan yang sah atau jelas. Hal ini melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang mengatur kewajiban PNS untuk hadir di tempat kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Harli Siregar juga menjelaskan bahwa selama ini Kejagung sudah berupaya melakukan pembinaan dan mediasi terhadap Jovi. Namun, ia malah berusaha mengalihkan isu dengan menyebarkan narasi-narasi di media sosial, seolah-olah dirinya adalah korban yang memperjuangkan kebenaran. Tindakan Jovi yang tidak hadir di kantor dan terus memposting komentar-komentar yang tidak relevan di media sosial dianggap sebagai upaya untuk mengubah persepsi publik dan mengalihkan perhatian dari kesalahan yang telah ia lakukan.
Kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak mengenai pentingnya menjaga kehormatan dan integritas dalam profesi, terutama bagi pegawai pemerintah seperti jaksa yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan tugas hukum. Kejaksaan Agung menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan dengan adil, tanpa ada diskriminasi atau perlakuan khusus kepada siapa pun, termasuk bagi pegawai di tubuh Kejaksaan itu sendiri.